Jeffry Al Buchori
Artikel
ini tentang seorang tokoh yang baru saja meninggal. Beberapa informasi,
terutama seputar sebab kematian dan pemakamannya, dapat berubah-ubah
sewaktu-waktu.
Jeffry Al-Buchori
Lahir 12 April 1973
Bendera Indonesia Jakarta
Meninggal 26 April 2013 (umur 40)
Bendera Indonesia,
Jakarta
Kebangsaan Indonesia
Nama panggilan Uje (Azzizah Ika)
Pekerjaan Penceramah, penyanyi salawat
Agama Islam
Pasangan Pipik Dian Irawati Popon
Anak Adiba Khanza
Az-Zahra
Mohammad
Abidzar Al-Ghifari
Ayla Azuhro
Orang tua H. Ismail Modal
Dra. Hj. Tatu Mulyana
Jeffry Al
Buchori memiliki nama populer Uje (lahir di Jakarta, 12 April 1973 – meninggal
di Jakarta, 26 April 2013 pada umur 40 tahun) adalah seorang pendakwah atau
ustad yang tampil dengan mengemas bahasa dakwahnya dengan bahasa-bahasa anak
muda. Sehingga ustad Uje kerap juga dipanggil sebagai ustad gaul. Beberapa hari
setelah ia merayakan ulang tahunnya yang ke-40, ia mengalami kecelakaan motor
yang menyebabkan Uje meninggal dunia di usia 40 tahun.
Masa hidup
Jefri anak ketiga dari lima
bersaudara pasangan Alm. H. Ismail Modal dan Ustz Dra. Hj. Tatu Mulyana ini
sejak kecil telah mendapat pendidikan Islam yang kuat. Hal ni terbukti saat
duduk di bangku sekolah kelas 3-5 SD meraih prestasi MTQ (Musabaqah Tilawatil
Qur’an) sampai tingkat provinsi. Setelah lulus SD, bersama kedua kakaknya, Alm.
Ust. H. Abdullah Riyad dan Ust. H. Aswan Faisal, bersekolah di PonDaar el-Qolam
Gintung, Jayanti Tangerang. Namun selama di pesantren, Uje terbilang nakal.
Seringkali saat teman-temannya menunaiam-diam tidur atau kabur dari pesantren
untuk main dan nonton di bioskop. Sampai akhirnya Uje dikeluarkan dari
pesantren tersebut yang sempat dikecapnya selama tahun yang harus dijalani.
Setelah itu, Uje dipindahkan ke Madrasah Aliyah (MA, setingkat SMA). Bukannya
bertambah baik, kenakalan Uje justru bertambah.
Apalagi setelah
lulus di tahun 1990 dan kuliah di akademi broadcasting, kenakalan Uje tak
berkurang. Dia bergaul dengan pemakai narkoba dan sering dugem. Bahkan Uje
akhirnya tak menyelesaikan kuliah. Pada tahun 1991, Uje pernah menjadi dancer
di salah satu club. Uje juga sering nongkrong di Institut Kesenian Jakarta. Di
kala para pemain sinetron sedang latihan, kadang-kadang Uje menggantikan salah
satunya. Ia pun ikut casting dan mendapat peran. Salah satu sinetron yang
sempat dibintanginya adalah Pendekar Halilintar. Bahkan Uje pernah dinobatkan
sebagai pemeran pria terbaik dalam Sepekan Sinetron Remaja yang diadakan TVRI
pada 1991.
Uje bertemu
dengan Pipik Dian Irawati, seorang model gadis sampul majalah Aneka tahun 1995
asal Semarang, Jawa Tengah. Saat itu, Uje masih berstatus sebagai pemakai.
Meski demikian, hal itu tidak menghalangi Pipik yang bersedia dinikah siri pada
7 September 1999. Dua bulan kemudian mereka menikah resmi di Semarang.
Pernikahannya dengan Pipik ini dikaruniai tiga orang anak, Adiba Khanza
Az-Zahra, Mohammad Abidzar Al-Ghifari, dan Ayla Azuhro.
Hal yang
menyadarkan Uje dari kehidupan semu adalah saat dirinya diajak umroh oleh ibu
dan kakaknya. Sebagai awal dari usaha pertaubatan, Uje mendapat amanah dari
kakak tertuanya alm. Ust. H. Abdullah Riyad, untuk melanjutkan dakwah kakaknya
di Jakarta. Sebab alm Ust. H. Abdullah Riyad mendapatkan kepercayaan dari MUIS
(Majlis Ugame Islam Singapura) untuk menjadi Imam besar di Masjid Haji Mohammad
Soleh, bersebelahan dengan Maqam Habib Nuh Al Habsyi, Palmer Road, Singapura.
Uje berdakwah pertama kali di sebuah masjid di Mangga Dua. Pipik Dian Irawati,
istrinya, menuliskan teks dakwah yang mesti disampaikan saat itu. Hasilnya,
honor ceramah sebesar Rp 35.000 dia bawa pulang dan langsung diberikan kepada
istrinya.
Dari situlah Uje
mulai berdakwah lewat majelis taklim, mushola, masjid, dan perlahan-lahan bisa
seperti sekarang ini, dikenal oleh masyrakat banyak dikagumi oleh seluruh
kalangan. Selain itu Uje, juga menyampaikan dakwahnya dalam bentuk lagu-lagu
Islami, debut albumnya, Lahir Kembali diluncurkan 2006 lalu. Beberapa lagu
diciptakannya sendiri dan dinyanyikan bersama penyanyi lagu-lagu religius
muslim, seperti Opick, bahkan pernah berkolaborasi dengan grup band Ungu dalam
mini album Ungu bertajuk Para Pencari-Mu (2007).
Uje meninggal dunia dalam usia 40
tahun pada tanggal 26 April 2013 dalam sebuah kecelakaan tunggal di kawasan
Pondok Indah, Jakarta Selatan, pada pukul 2 waktu setempat. Ia menabrak pohon
setelah kehilangan kendali atas Kawasaki ER-6n bernopol B 3590 SGQ yang sedang
dikendarai.[1]
Ia sempat dirujuk ke Rumah Sakit
Pondok Indah dan Rumah Sakit Fatmawati, namun nyawanya tidak tertolong.[2][3]
Selanjutnya, jenazah Uje akan dibawa ke rumah duka di Perum Bukit Mas, Jalan
Narmada III, Rempoa, Bintaro, Tangerang Selatan, Ustadz Jeffry dimakamkan di
TPU Karet Bivak Jakarta Selatan setelah sebelumnya disalatkan di Masjid
Istiqlal.[4]
USTAD JEFRY, MANTAN PECANDU YANG TOBAT DAN KINI MENJADI USTAD
YANG TERKENAL
Ustadz ganteng
ini laris diminta berdakwah. Perjalanan hidup Jeffry Al Buchori sungguh
dahsyat. Penuh gejolak dan tikungan tajam. Proses pergulatan yang luar biasa ia
alami sampai ia menemukan kehidupan yang tenang dan menenteramkan. Simak
kisahnya yang sangat memikat mulai nomor ini.
Sebetulnya aku
tidak ingin bercerita banyak tentang masa laluku. Maklum, masa laluku sangat
kelam. Namun, setelah kupikir, siapa tahu perjalanan hidupku ini bisa menjadi
pelajaran bagi orang lain. Baiklah, aku bersedia membagi pengalaman hidupku
pada para pembaca. Insya Allah, ada gunanya.
Aku lahir dengan
nama Jeffry Al Buchori Modal pada 12 April 1973 di Jakarta. Waktu aku lahir,
keluargaku memang sudah menetap di Jakarta. Aku lahir sebagai anak tengah,
maksudku anak ke-3 dari lima bersaudara. Tiga saudara kandungku laki-laki, dan
si bungsu adalah perempuan. Layaknya bersaudara, hubungan kami berlima cukup
dekat. Sekadar bertengkar, sih, wajar saja. Apalagi, jarak usia kami tidak
berjauhan.
Apih (panggilan
Jefri untuk ayahnya, Red.), M. Ismail Modal, adalah pria bertubuh tinggi besar
asli Ambon, sedangkan Umi, begitu aku biasa memanggil ibu, Tatu Mulyana asli
Banten. Apih mendidik kami berlima dengan sangat keras. Tapi, kalau tidak
begitu, aku tidak akan merasakan manfaat seperti sekarang. Kalau kami sampai
lupa salat atau mengaji, wah, jangan ditanya hukuman yang akan diberikan Apih.
Dalam hal agama, Apih dan Umi memang mendidik kami secara ketat.
Namun,
sebetulnya Umi adalah seorang ibu yang amat sabar dan lembut dalam menghadapi
anak-anaknya. Apih pun orang yang selalu bersikap obyektif. Dia akan membela
keluarganya mati-matian bila memang keluarganya yang benar. Sebaliknya dia
tidak segan-segan menyalahkan kami bila memang berbuat salah.
Berada di
lingkungan keluarga yang taat agama membuatku menyukai pelajaran agama. Sewaktu
kelas 5 SD, aku pernah ikut kejuaraan MTQ sampai tingkat provinsi. Selain
agama, pelajaran yang juga kusukai adalah kesenian. Entah mengapa, aku suka
sekali tampil di depan orang banyak. Oh ya, setelah kenaikan kelas, dari kelas
3 aku langsung melompat ke kelas 5. Jadilah aku sekelas dengan kakakku yang
kedua.
BERKEPRIBADIAN GANDA
Lulus SD, Apih
memasukkanku dan kedua kakakku ke sebuah pesantren modern di Balaraja,
Tangerang. Beliau ingin kami mendalami pelajaran agama. Rupanya tidak semua
keinginannya bersambut, semua ini karena kenakalanku.
Orang bilang,
anak tengah biasanya agak nakal. Aku tidak tahu ungkapan itu benar atau tidak.
Yang jelas hal itu berlaku padaku. Sebagai anak tengah, aku sering membuat
orang tua kesal. Di pesantren, aku sering berulah.
Salah satu
kenalakanku, di saat yang lain salat, aku diam-diam tidur. Kenakalan lain,
kabur dari pesantren untuk main atau nonton di bioskop adalah hal biasa.
Sebagai hukumannya, kepalaku sering dibotaki. Tapi, tetap saja aku tak jera.
Tampaknya aku
seperti punya kepribadian ganda, ya. Di satu sisi aku nakal, di sisi lain
keinginan untuk melantunkan ayat-ayat suci begitu kuat. Tiap ada kegiatan
keagamaan, aku selalu terlibat. Bersama kedua kakakku, aku juga pernah membuat
drama tanpa naskah berjudul Kembali Ke Jalan Allah yang diperlombakan di
pesantren. Ternyata karya kami itu dinilai sebagai drama terbaik se-pesantren.
Bahkan, aku juga
juara lomba azan, lomba MTQ, dan qasidah. Akan tetapi, entah kenapa, aku juga
tak pernah ketinggalan dalam kenakalan. Tinggal dalam lingkungan pesantren,
kelakuan burukku bukannya berkurang, malah makin menjadi. Puncaknya, aku sudah
bosan bersekolah di pesantren.
Akhirnya, hanya
empat tahun aku di pesantren. Dua tahun sebelum menamatkan pelajaran, aku
keluar. Lalu, Apih memasukkanku ke sekolah aliyah (setingkat SMA, Red.).
Rupanya keluar dari pesantren tidak membuatku lebih baik. Aku yang mulai
beranjak remaja justru jadi makin nakal.
KENAL DUNIA MALAM
Memang, sih,
tiap ada acara keagamaan aku tak pernah ketinggalan. Namun, aku juga selalu mau
bila ada teman mengajak ke kantin sekolah. Bukan untuk jajan, tapi memakai
narkoba! Aku juga sering kabur dan pergi tanpa tujuan yang jelas. Ya, aku
seperti burung lepas dari sangkar, terbang tak terkendali.
Masa SMA memang
suram bagiku. Masa yang tak pernah lengkap. Maksudnya, aku tak punya teman
sebaya. Kenapa? Ya, meski usiaku masih 15 tahun, aku bergaul dengan pemuda
berusia 20 tahunan. Pacaran pun dengan yang lebih tua. Di sekolah ini aku hanya
bertahan setahun. Pindah ke SMA lain, keseharianku tak jauh berbeda. Malah
makin parah.
Dari perkenalan
dengan beberapa teman, aku mengenal petualangan baru. Umur 16 tahun, aku mulai
kenal dunia malam. Aku masuk sekolah hanya saat ujian. Buatku, yang penting
lulus. Aku lebih suka mendatangi diskotek untuk menari. Terus terang, aku
memang tertarik pada tarian di diskotek. Tiap ke sana, diam-diam aku selalu
mempelajari gerakan orang-orang yang nge-dance. Lalu kutirukan.
Aku jadi seorang
penari, bertualang dari satu diskotek ke diskotek lain, tenggelam dalam dunia
malam. Saat ada lomba dance, aku mencoba ikut. Usahaku tak sia-sia. Beberapa
kali aku berhasil memboyong piala ke rumah sebagai the best dancer. Selain itu,
aku juga berhasil jadi penari di Dufan pada tahun 1990, meski hanya selama
setahun. Sampai sekarang masih banyak temanku yang jadi penari di sana.
Aku juga pernah
jadi foto model, bahkan ikut fashion show di diskotek. Mungkin waktu itu aku
merasa sangat cakep, ya. Tapi menurutku, kegiatan-kegiatan itu masih positif,
meski terkadang aku suka minum. Dengan segala kebengalanku, tahun 1990 aku berhasil
lulus SMA.
MAIN SINETRON
Aku mengalami masa yang menurutku
paling dahsyat setelah tamat SMA. Ceritanya salah seorang teman penari,
memperkenalkanku pada Aditya Gumai yang saat itu aktif di dunia seni peran.
Dari Aditya aku mengenal dunia akting. Waktu itu, kami masih latihan menari di
Taman Ismail Marzuki. Saat latihan pindah ke Gedung Pemuda di Senayan, mulailah
aku main sinetron. Mulanya aku hanya mengamati para pemain yang sedang syuting,
sambil diam-diam belajar.
Aku memang suka mencuri ilmu. Waktu
tidur di kos salah satu temanku di dekat kampus Institut Kesenian Jakarta, aku
sering mencuri ilmu juga dari para mahasiswa. Kalau mereka sedang kuliah atau
praktik, aku sering mengamati mereka.
Nah, ketika para pemain sinetron
sedang latihan, terkadang aku menggantikan salah satunya. Ternyata aku
ditertawakan. Karena pada dasarnya aku orang yang enggak suka diperlakukan
seperti itu, aku malah jadi terpacu. Aku makin giat berlatih akting secara
otodidak. Akhirnya, saat yang senior belum juga dapat giliran main, aku sudah
mendapat peran. Aku diajak Aditya main sinetron. Waktu dikasting, aku berhasil
mendapat peran.
Tahun 1990, aku main sinetron
Pendekar Halilintar. Saat itu, sinetron masih dipandang sebelah mata oleh
bintang film. Namun, Apih mati-matian menentangku. Kenapa? Rupanya Apih tahu
persis seperti apa lingkungan dunia film. Dulu, beliau juga pernah main film
action, antara lain Macan Terbang dan Pukulan Berantai. Dari beliaulah aku
menuruni darah seni.
Ditentang Apih tak membuat
langkahku surut. Mungkin jalan hidupku memang harus begini. Tak satu pun
larangan Apih yang mampir ke otakku untuk kujadikan bahan pikiran. Nasihat Apih
tak lagi kudengarkan. Tawaran untuk main sinetron yang berdatangan membuatku
makin yakin, inilah yang kucari. Aku tak mau menuruti keinginan orang tua
karena merasa diriku benar. Akhirnya konflik antara aku dan orang tuaku pecah.
Sebagai bentuk perlawananku pada
orang tua, aku tak pernah pulang ke rumah. Tidur berpindah-pindah di rumah
teman. Rambut juga kupanjangkan. Aku seperti tak punya orang tua. Bahkan, tak
pernah terlintas dalam benakku bahwa suatu hari mereka akan pulang ke haribaan.
Yang kupikirkan hanya kesenangan dan egoku semata.
Pada saat bersamaan, karierku di
dunia seni peran terus melaju. Aku semakin mendapatkan keasyikan. Setelah itu,
aku mendapat peran dalam sinetron drama Sayap Patah yang juga dibintangi Dien
Novita, Ratu Tria, dan almarhum WD Mochtar.
Aku semakin merasa pilihanku tak
salah setelah dinobatkan sebagai Pemeran Pria Terbaik dalam Sepekan Sinetron
Remaja yang diadakan TVRI tahun 1991. Aku bangga bukan main, karena merasa
menang dari orang tua. Kesombonganku makin menjadi. Aku makin merasa inilah
yang terbaik buatku, ketimbang pilihan orangtuaku.
***
“DI KABAH, KUMINTA AMPUNAN ALLAH”
Tawaran main
sinetron berdatangan menghampiri Jeffry. Seiring dengan itu, ia makin tenggelam
dalam dunianya yang kelam.
Sejak kenal
sinetron, aku makin menyukai dunia akting. Aku tak peduli meski Apih
menentangku. Namun, belakangan aku paham, di balik etidaksetujuannya,
sebetulnya orang menyimpan rasa bangga. Orang tua cerita, mereka sedang ke
Tanah Suci membawa rombongan ibadah haji saat sinetron Sayap Patah yang
kumainkan ditayangkan.
Ternyata, mereka
nonton sinetronku. Komentar mereka membanggakanku. Mereka mengakui, ternyata
aku bisa berprestasi. Setelah itu, aku mendapat berbagai tawaran main, antara
lain sinetron Sebening Kasih, Opera Tiga Jaman, dan Kerinduan. Selain namaku
makin mencuat, rezeki juga terus mengalir.
Namun, aku malah
jadi lupa diri. Ketenaran tidak penting buatku. Yang penting menikmati hidup.
Dunia malam terus kugeluti. Kalau ke diskotek, aku tak lupa mengonsumsi
narkoba. Bahkan, untuk urusan yang satu ini, aku bisa dibilang tamak. Biasanya,
aku meminum satu pil dulu. Kalau kurasa belum “on”, kuminum satu lagi. Begitu
seterusnya.
Akhirnya, aku
jadi sangat mabuk. Pandanganku pun jadi kabur. Mau melihat arloji di tangan
saja, aku harus mendekatkannya ke wajahku, sambil menggoyang-goyangkan kepala
dan membelalakkan mata supaya bisa melihat dengan lebih jelas. Parah, ya?
Begitulah kebandelanku terus berlangsung.
KECANDUAN KIAN PARAH
Suatu hari di
tahun 1992, Apih meninggal karena sakit. Aku menyesal bukan main karena selama
ini selalu mengabaikan nasihat Apih. Menjelang kepergiannya, aku berdiri di
samping tempat tidurnya di rumah sakit sambil menangis. Melihatku seperti itu,
Apih mengatakan, laki-laki tak boleh menangis. Laki-laki pantang keluar air
mata. Bayangkan, bahkan di saat-saat terakhirnya pun Apih tetap menunjukkan
sikapnya yang penuh kasih padaku yang durhaka ini.
Sore itu aku
dimintanya pulang ke rumah dan beliau memberiku ongkos. Aku menurut. Begitu aku
pulang, Allah mengambilnya. Aku syok berat. Saat Apih dimakamkan, aku turun ke
liang lahat dan memeluk jasadnya. Aku tak mau beranjak meski makam akan
ditutup. Aku tak mau melepas kepergiannya. Aku menyesali perbuatanku. Selama
Apih masih hidup, aku tak pernah mau mendengarkan ucapannya.
Sejak itu, Umi
membesarkan kami berlima. Hidupku terus berjalan. Bukan ke arah yang baik,
namun aku kembali ke masa seperti dulu. Penyesalan yang sebelumnya begitu
menghantuiku karena ditinggal Apih, seolah lenyap. Kebandelanku bahkan makin
menjadi sepeninggal Apih. Kesombonganku juga lebih besar dari sebelumnya karena
merasa berprestasi dan punya uang banyak. Tak seorang pun kudengarkan lagi
nasihatnya.
Ketika temanku
menasihati, aku mencibir. Siapa dia sampai aku harus mendengarkan ucapannya?
Ucapan orang tua saja tak kugubris. Aku tenggelam dalam duniaku sendiri dan
jadi pecandu narkoba. Waktu itu, aku beralasan karena ada masalah di rumah.
Padahal, sebetulnya alasan apa pun, termasuk broken home atau teman, tidak bisa
dijadikan alasan. Diri sendirilah alasannya, karena bagaimana pun, kita lah
yang menentukan semua yang terjadi pada diri kita.
Jadi, tidak
perlu membawa-bawa orang lain atau keadaan. Namun, kesadaran seperti ini mana
mungkin muncul pada diriku yang waktu itu sangat arogan? Aku makin jauh dari
Tuhan. Padahal, sebelah rumahku ada masjid. Ketika orang berpuasa di bulan
Ramadan pun, aku tetap melakukan kemaksiatan. Lalu, saat Lebaran tiba dan
orang-orang sibuk bertakbir, aku malah sibuk mencari celah waktu dan tempat di
mana aku bisa berbuat maksiat.
Semua ilmu agama
yang pernah kupelajari dan kemampuan membaca Quran seperti hilang. Akal sehatku
seperti hilang. Kecanduanku pada narkoba juga makin parah, bahkan sampai
mengalami over dosis dan aku hampir mati. Kejahatan demi kejahatan moral terus
kulakukan.
NAMA DICORET
Tak perlu aku
menceritakan detail tentang kejahatan yang kulakukan. Yang jelas, suatu hari
aku merasa menderita karena ketakutan setelah melakukan sebuah perbuatan. Aku
benar-benar ketakutan! Aku jadi gampang curiga pada siapa saja. Aku selalu
berburuk sangka pada apa pun. Kesombonganku pada uang dan prestasi lenyap
digantikan ketakutan. Yang kulakukan setiap hari adalah berdiam diri di kamar,
dengan selalu berpikiran bahwa setiap orang yang datang akan membunuhku. Aku
sibuk mengintip dari bawah pintu, siapa tahu ada orang datang untuk membunuhku.
Telingaku jadi
sangat sensitif. Aku sering merasa mendengar ada orang sedang berjalan di atap
rumah ingin membunuhku. Aku tersiksa selama berhari-hari, berminggu-minggu,
bahkan berbulan-bulan. Orang-orang mengatakan, aku sudah gila.
Pada saat
bersamaan, kecanduanku pada narkoba membuatku termasuk dalam daftar hitam dunia
sinetron. Namaku dicoret. Tak ada lagi yang mau memakaiku sebagai pemain.
Selain itu, cewek-cewek yang ada di dekatku juga menjauh. Dulu aku termasuk
playboy.
Di saat aku
sendiri, ada Umi yang selama ini sudah sangat sering kusakiti hatinya. Umi
tetap menyayangiku dengan cintanya yang besar. Seburuk apa pun orang
berkomentar tentang aku, hati Umi tetap baik dan sabar. Air matanya tak pernah
kering untuk mendoakan anak-anaknya, terutama aku agar berubah jadi lebih baik.
Doa tulus Umi
dikabulkan Allah. Sungguh luar biasa, Allah menunjukkan kebaikan-Nya padaku.
Allah memberiku kesempatan untuk bertobat. Kesadaran ini muncul lewat suatu
proses yang begitu mencekamku.
DIAJAK UMI UMRAH
Sungguh, aku merasa sangat
ketakutan ketika suatu hari bermimpi melihat jasadku sendiri dalam kain kafan.
Antara sadar dan tidak, aku terpana sambil bertanya pada diri sendiri. Benarkah
itu jasadku? Aku juga disiksa habis-habisan. Begitulah, setiap tidur aku selalu
bermimpi kejadian yang menyeramkan. Dalam tidur, yang kudapat hanya
penderitaan. Aku jadi takut tidur. Aku takut mimpi-mimpi itu datang lagi.
Aku juga jadi takut mati. Padahal
dulu aku sempat menantang maut. Meminta mati datang karena aku tak sanggup lagi
bertahan saat ada masalah dengan seorang cewek. Sebetulnya sepele, kan? Tapi
masalah itu kuberat-beratkan sendiri. Rasa takut mati itulah yang akhirnya
membuatku sadar bahwa ada yang tidak meninggalkanku dalam keadaan seperti ini,
yaitu Allah.
Aku teringat kembali pada-Nya dan
menyesali semua perbuatanku selama ini. Pelan-pelan, keadaanku membaik.
Kesadaran-kesadaran itu datang kembali. Aku menemui Umi, bersimpuh meminta maaf
atas semua dosa yang kulakukan. Umi memang luar biasa. Betapa pun sudah
kukecewakan demikian rupa, beliau tetap menyayangi dan memaafkanku. Umi lalu
mengajakku berumrah.
Dengan kondisiku yang masih labil
dan rapuh, kami berangkat ke Tanah Suci. Kali ini aku berniat sembuh dan
kembali ke jalan Allah. Di sana, aku mengalami beberapa peristiwa yang
membuatku sadar pada dosa-dosaku sebelumnya. Usai salat Jumat di Madinah, Umi
mengajakku ke Raudhoh. Aku tak tahu apa itu Raudhoh, tapi kuikuti saja. Umi
terus meminta ampunan pada Allah.
Aku lalu keluar, berjalan menuju
makam Nabi Muhammad. Aku bersalawat. Begitu keluar dari pintu masjid, rasanya
seperti ada yang menarikku. Aku mencoba berjalan sekuat tenaga, tapi tak bisa.
Kekuatan itu rasanya sangat besar. Aku lalu bersandar pada tembok. Air mataku
yang dulu tak pernah keluar, kini mengalir deras. Aku menyesali dosa-dosaku,
dan berjanji tak akan melakukan lagi semua itu.
Bagai sebuah film yang sedang
diputar, semua dosa yang pernah kulakukan terbayang jelas di pelupuk mataku
silih berganti, mulai dari yang kecil sampai yang besar. Tiba-tiba dari mulutku
keluar kalimat permintaan ampunan pada Allah. Di Mekkah, di hadapan Kabah, aku
merapatkan badan pada dindingnya.
Aku bersandar, menengadahkan tangan
memohon ampun karena terlalu banyak dosa yang kulakukan. Seandainya sepulang
dari Tanah Suci ini melakukan dosa lagi, aku minta pada Allah untuk mencabut
saja nyawaku. Namun, seandainya punya manfaat untuk orang lain, aku minta
disembuhkan. Aku yang dulu angkuh, sekarang tak berdaya. Setelah pulang
beribadah, aku membaik. Aku mencoba bertahan dalam kondisi bertobat itu, tapi
ternyata sulit luar biasa.
BIDADARI CANTIK JADI PEMBANGKIT HIDUP
Setelah
berkali-kali jatuh-bangun, akhirnya Jeffry kembali dekat pada agama. Kasih
sayang kekasih yang akhirnya menjadi istri ikut menjadi pembangkit semangatnya.
Perjuangannya menjadi ustaz cukup berat sampai akhirnya ia sukses jadi
penceramah. Sepulang umrah, aku mencoba hidup lurus. Namun, lagi-lagi aku
tergoda. Suatu malam, aku dan teman-teman berencana nonton jazz di Ancol. Aku
memperingatkan mereka untuk tidak bawa narkoba, karena
kami sudah
sepakat untuk berhenti memakai. Ternyata, salah satu temanku masih saja membawa
cimeng. Apesnya, kami dirazia polisi di depan Hailai.
Teman-temanku
yang lain kabur. Tinggallah aku, temanku yang membawa cimeng, dan satu teman
lain. Aku sulit kabur karena mobil yang kami pakai adalah mobilku. Akhirnya
kami bertiga dibawa ke kantor polisi dan ditahan. Aku dilepas karena tak
terbukti membawa. Kucoba telepon Umi untuk menjelaskan masalah ini, tapi Umi
tak mau menerima teleponku.
Si penerima
telepon malah diminta Umi untuk mengatakan, beliau tak anak bernama Jeffry.
Hatiku tercabik-cabik. Pedih rasanya tak diakui sebagai anak oleh Umi. Kuakui,
pastilah hati Umi sudah sedemikian sakitnya. Bayangkan, aku yang sebelumnya
sudah mengaku bertobat, malah kembali memilih jalan yang salah. Meski aku sudah
bersumpah demi Tuhan tidak memakai narkoba lagi, Umi tak percaya lagi. Itulah
puncak kemarahan Umi Sungguh bersyukur, Allah masih berkenan menolongku. Datang
seorang gadis cantik dalam hidupku. Ia mau menerimaku apa adanya. Sebelumnya,
banyak gadis meninggalkanku sehingga aku merasa sebatang kara dalam cinta.
Gadis bernama Pipik Dian Irawati ini seorang model sampul sebuah majalah remaja
tahun 1995, asal Semarang.
(Berikut ini
adalah penuturan Pipik: Aku pertama kali melihatnya sedang makan nasi goreng di
Menteng sekitar tahun 1996 – 1997. Rambutnya gondrong. Waktu itu, aku bersama
Gugun Gondrong. Setahuku, Jeffry adalah pemain sinetron Kerinduan, karena aku
mengikuti ceritanya. Aku ingin berkenalan dengannya, tapi Gugun melarangku.
Tak tahunya,
waktu buka puasa bersama di rumah Pontjo Sutowo, aku bertemu lagi dengannya.
Rambutnya sudah dipotong pendek. Aku nekat berkenalan. Kami mulai dekat dan
saling menelepon. Aku enggak tahu kapan kami resmi pacaran, karena enggak
pernah “jadian”. Dia juga tak pernah menyatakan cinta. Waktu pacaran, dia cuek
setengah mati.
Awalnya,
semangatnya boleh juga. Pertama kami pergi bareng, dia datang ke rumah di Kebon
Jeruk, di tengah hujan deras dari rumahnya di Mangga Dua. Jeffry naik taksi
dengan memakai jins dan sepatu bot. Ia yang hanya bawa uang Rp 50 ribu,
mengajakku nonton di Mal Taman Anggrek. Di dalam bioskop, kami seperti nonton
sendiri-sendiri. Dia diam saja selama nonton.
Sejak itu, kami
sering jalan bareng, karena kami memang hobi nonton dan makan. Semakin dekat
dengannya, aku makin tahu ternyata dia pemakai narkoba kelas berat.
Teman-temanku mulai bertanya, mengapa aku mau berpacaran dengannya. Aku sendiri
tak tahu persis alasannya. Mungkin rasa sayang yang sudah terlanjur muncul
dalam hati yang membuatku mau bertahan. Hatiku terenyuh dan tak mau
meninggalkan dia sendiri.
Tentu saja
keluargaku tak ada yang tahu, karena sengaja kusembunyikan. Mungkin mereka baru
tahu sekarang, setelah membaca kisah hidupnya di berbagai media. Sementara itu,
aku sibuk tur keluar kota sebagai model, sehingga kami sering tak ketemu.
Akhirnya kami putus. Waktu akhirnya ketemu lagi, ternyata dia sudah punya pacar
lagi. Karena masih sayang, aku sering membawakannya hadiah dan memberi
perhatian. Setelah Jeffry putus dari pacarnya, kami kembali bersatu.)
JUALAN KUE
Pipik sangat
berarti buatku. Dia mengerti, peduli dan perhatian padaku. Padahal, aku sempat
hampir menikah dengan orang lain. Ternyata Allah sayang padaku. Allah
menunjukkan, wanita yang nyaris kunikahi itu bukan untukku. Pipik bagai
bidadari yang datang dengan cinta yang besar. Ia memberi keyakinan, menikah
dengannya akan membawa perubahan besar dalam hidupku.
Aku mendatangi
Umi dan minta izin untuk menikah. Luar biasa, Umi tetap menerimaku dengan
segala kasih sayangnya. Sambil menangis, Umi mengizinkanku menikah. Aku sendiri
terbilang nekat. Sebab, waktu itu aku tak punya-apa. Badan pun kurus kering,
dengan mata belok, dan penyakit paranoid yang kuderita tak kunjung sembuh.
Bahkan, pekerjaan pun aku tak punya.
Untuk
menghindari maksiat, kami menikah di bawah tangan pada tahun 1999.
Teman-temanku yang sekarang sudah meninggal karena over dosis, sempat
menghadiri pernikahanku. Setelah itu, kami tinggal di rumah Umi. Sekitar 4 – 5
bulan setelah itu, kami menikah secara resmi di Semarang.
Namun, menikah
rupanya tak cukup menghentikan kebandelanku. Istriku pun merasakan getahnya.
Aku pernah memakai narkoba di depannya, dan menggunakan uangnya untuk membeli
barang haram tersebut.
Kesulitan lain,
aku dan Pipik sama-sama menganggur. Pernah kami mencoba berdagang kue. Malam
hari kami menggoreng kacang, esok paginya bikin kue isi kacang dan susu. Lalu
kami titipkan ke toko kue.
Tapi mungkin
rezeki kami bukan di situ. Kue yang kami buat hanya laku beberapa buah. Dalam
sehari kami hanya membawa pulang Rp 200 – 300. Akhirnya kami berhenti berjualan
kue. Kehidupan kami selanjutnya kami jalani dengan penuh perjuangan sekaligus
kesabaran.
MAKAN SEPIRING BERDUA
(Kesetiaan Pipik
begitu luar biasa. Simak penuturannya berikut ini. Perasaan sayang yang sangat
kuat membuatku mantap menikah dengannya. Aku tak peduli lagi meski dia pecandu,
bahkan pernah mengalami over dosis dan hampir gila karena paranoidnya. Aku
banyak mengalami hal-hal luar biasa dengannya. Kalau tidak sabar, mungkin aku
sudah tidak bersamanya lagi.
Awal menikah,
kami tinggal di rumah Umi. Meski hidup seadanya, beliaulah yang membiayai hidup
kami. Aku dan Jeffry tak jarang makan sepiring berdua, karena memang
benar-benar tak ada yang bisa dimakan. Berat rasanya jadi istri dari suami
penganggur, apalagi setelah menikah aku tidak lagi bekerja.
Tapi aku yakin,
Allah tidak mungkin memberikan cobaan pada umat-Nya melebihi kemampuannya. Aku
yakin, pasti ada sesuatu yang akan diberikan Allah padaku. Beruntung, Umi
sangat sayang padaku.
Aku sendiri tak
jera memberi masukan padanya untuk mengubah hidup. Kami sama-sama saling
belajar menerima kelebihan dan kekurangan satu sama lain. Pelan-pelan, hidupnya
mulai berubah menjadi lebih baik, terutama setelah aku hamil. Mungkin dia
sendiri sudah capek dengan kehidupannya yang seperti itu.)
HIDUP DI JALAN ALLAH
Pelan-pelan, aku
kembali dekat pada agama. Perubahan besar terjadi dalam hidupku pada tahun
2000. Kala itu, Fathul Hayat, kakak keduaku yang setengah tahun silam meninggal
karena kanker otak, memintaku menggantikannya memberi khotbah Jumat di Mangga
Dua. Pada waktu bersamaan, dia diminta menjadi imam besar di Singapura.
Fathul memang
seorang pendakwah. Selama dia di Singapura, semua jadwal ceramahnya diberikan
padaku. Pertama kali ceramah, aku mendapat honor Rp 35 ribu. Uang dalam amplop
itu kuserahkan pada Pipik. Kukatakan padanya, ini uang halal pertama yang bisa
kuberikan padanya. Kami berpelukan sambil bertangisan.
Selanjutnya,
kakakku memintaku untuk mulai menjadi ustaz. Inilah jalan hidup yang kemudian
kupilih. Betapa indah hidup di jalan Allah. Aku mulai berceramah dan diundang
ke acara seminar narkoba di berbagai tempat. Namun, perjuanganku tak semudah
membalik telapak tangan. Tak semua orang mau mendengarkan ceramahku karena aku
mantan pemakai narkoba. Tapi aku mencoba sabar.
Alhamdulillah,
makin lama ceramahku makin bisa diterima banyak orang. Bahkan sekarang, aku
banyak diundang untuk ceramah di mana-mana, termasuk di luar kota dan stasiun
teve. Aku bersyukur bisa diterima semua kalangan. Aku pun ingin berdakwah untuk
siapa saja. Aku ingin punya majelis taklim yang jemaahnya waria. Mereka, kan,
juga punya hak untuk mendapatkan dakwah.
Kebahagiaan kami
bertambah ketika tahun 2000 itu, lahir anak pertama kami, Adiba Kanza Az-Zahra.
Dua tahun kemudian, anak kedua Mohammad Abidzan Algifari juga hadir di tengah
kami. Mereka, juga istriku, adalah inspirasi dan kekuatan dakwahku. Kehidupan
kami makin lengkap rasanya.
Sampai sekarang,
aku masih terus berproses berusaha menjadi orang yang lebih baik. Semoga,
kisahku ini bisa jadi bahan pertimbangan yang baik untuk menjalani hidup.
Pesanku, cintailah Tuhan dan orangtuamu, serta pilihlah teman yang baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar