Kamis, 24 Oktober 2013

asumsi dan dimensi perkembangan peserta didik



BAB I
Pendahuluan

A.    Latar Belakang
Manusia sebagai makhluk ciptaan tuhan yang paling sempurna melebihi makhluk lain di muka bumi, namun dari kelebihannya itu manusia juga mempunyai kelemahan yaitu mempunyai sifat yang lebih jahat dari binatang buas dan sebagainya.
Pada dasarnya peserta didik sebagai manusia mempunya kelebihan yaitu fisik yang sempurna, mempunyai hati dan mempunyai otak yang jika dalam kesehariannya dibiarkan tanpa ada arahan atau bimbingan yang baik dari guru, orang tua dan sebagainya, maka ketiga unsur tersebut tidak dapat berjalan dalam arah yang positif, lingkungan sangat mempengaruhi asumsi dan ketiga dimensi peserta didik tersebut. Untuk mengatasi kekhawatiran tersebut cara yang harus diambil antara lain adalah dengan membawa peserta didik kepada keaktifan yang lebih komprehensif yang mengarah ke arah yang positif baik itu secara fisiologis maupun psikisnya.

B.     Tujuan
Adapun tujun dari pembuatan makalah ini, yaitu agar pembaca dapat mendeskripsikan tridimensi peserta didik, dimensi sosial peserta didik, dimensi spiritual dan intelektual peserta didik serta asumsi-asumsi perkembangan peserta didik.

C.    Manfaat
Adapun manfaat dari pembahasan dalam makalah ini agar pembaca dapat menambah wawasan tentang asumsi dan dimensi perkembangan peserta didik.










BAB II
Pembahasan
A.    Asumsi dan Dimensi Perkembangan Peserta Didik
a .    Tridimensi Peserta Didik
            Hampir semua referensi kependidikan selalu mengawali pembahasan dengan mengedepankan esensi manusia, yang dalam konteks sekolah disebut peserta didik. Ketika itu pula mncul pertanyaan mengenai apa esensi manusia? Pertanyaan ini agaknya paling sulit menemukan jawabannya. Dari sisi pandang positif, manusia adalah makhluk Tuhan yang paling mulia, berakal berbudi, insan beradab, paling potensial untuk berkembang, dan sebagainya. Dari sisi pandang negative, kita pun melihat realitas bahwa sebagian manusia merupakan makhluk paling rakus, pengguna teknologi yang kejam, penguras sumberdaya alam yang tamak, pebisnis yang curang, dan sebagainnya. Tugas pendidikan adalah mengoptimasi potensi peserta didik dari negative ke positive. Serta meningkatkan dan memapankan perilaku positif  itu.
            Dengan mengikuti pemikiran filsuf kuno, Ban Van Rijken (2009) berpendapat bahwa manusia, termasuk peserta didik, terdiri dari unsur atau dimensi, yaitu fisik, nurani, dan pikiran.
Fisik manusia adalah penampakan di permukaan : jangkung, pendek, berkulit sawo matang, berambut ikal, bermuka lonjong, berhidung mancung, berbadan tegap, bermata sipit, beralis  tebal, dan sebagainya. Dari sisi energy yang dikeluarkan, fisik manusia merupakan sosok yang paling taat menerima perintah dari otak, baik berupa “ kata hati “, bahkan yang bersifat refleks.
            Jadi, fisik sesungguhnya merupakan instrument bagi pembantuan atas sesuatu yang lain. Bantuan untuk kata hati atau pikiran. Sehebat, seganteng, dan secantik apa pun fisik seseorang, dia nyaris selalu diperalat oleh kata hati dan pikiran. Sebalikya, karena kata hati dan pikiran itu pula, fisik manusia menerima perilaku pemanjaan yang luar biasa, karena ia merupakan penampakan ketika berada dalam konteks sosial. Adakalanya fisik bekerja sampai lelah, sebaliknya dimanja luar biasa dengan parfum, lipstick, pelindung, dan lain-lain.
Nurani atau “nalar hati” juga dapat dipandang sebagai bantuan sebagai bantuan bagi  keinginan seseorang. Nalar semacam ini sering kali diidentikkan dengan perasaan pribadi, seperti empati, simpati, bahkan mungkin antipati. Nalar hati esensinya baik bagi seseorang meski tidak selalu sama tafsirkannya secara sosial. Frasa “ gunakan hati nurani”, konotasinya baik, meski seringkali sangat subjektif. Sebaliknya,  frasa “berhati busuk”, selalu jelek maknanya bagi pihak ketiga, meski bagi seseorang “pelaku” yang diberi label semacam itu sangat mungkin maksudnya baik dari sisi pandang dirinya.
Pikiran atau nalar otak juga dapat dipandang sebagai bantuan bagi keinginan seseorang atau peserta didik. Nalar otak biasanya berupa kesadaran menggunakan pikiran, meski kadang-kadang tidak harmonis dengan nalar hati.Idealnya nalar otak itu harmonis dengan latar hati, meski dalam konteks pribadi, sosial, ekonomi, dan cultural saja tidak sejalan.Perpaduan yang harmonis antara nalar hati dan nalar otak melahirkan kesadaran, harga diri, integritas, atau jati diri. Kedudukannya lebih penting daripada pemikiran dan nurani yang berjalan sendiri-sendiri. Kombinasi yang harmonis antara dimensi fisik, nurani, dan pikiran itulah yang menjadi esensi manusia.Karenanya, esensi manusia lebih dari sekedar unsur-unsur fisik, nurani, dan pikiran yang berjalan sendiri-sendiri. Fisik memililiki nilai lebih hanya dalam takaran komparansi fisikal, nurani memiliki nilai lebih dalam komparansi sifat-sifat kemanusiaan , dan pikiran memiliki nilai lebih dalam komparansi penalaran tingkat tinggi.
Sebagai manusia biasa, peserta didik itu beragam, baik secara fisik, nurani, maupun penalarannya. Kemampuan mereka berkembang pun untuk ketiga aspek itu beragam adanya. Keragaman itu haus dipandang sebagai lumrah dan layanan pendidikan untuk melakukan penguatan. Peserta didik yang “kurang bernurani” (pengganggu, sering bolos, culas, pembobong, tidak jujur, tidak ada perhatian, dan lain-lain) menginspirasi layanan pendidikan agar mereka kembali ke koridor pribadi sejati dan memupuknya menuju kesejatian sebagai manusia.
Peserta didik yang nalar intelektualnya lebih dibandingkan dengan yang lain menginspirasi layanan pendidikan untuk mengaktivasinya dalam rangka bimbingan sejawat. Peserta didik yang tingkat penalarannya kurang, menginspirasi layanan pendidikan menjadi lebih intensif, penyediaan program remedial, bimbingan khusus, dan sebagainya.Jadi, keragaman peserta didik secara fisik, nurani, dan pikiran menginspirasi aneka jenis layanan pendidikan dan pembelajaran kepada mereka.Kelemahan yang ada pada diri peserta didik tidak untuk mendiskriminasikannya, melainkan sebagai inspirator bagi munculnya aneka layanan pendidikan dan pembelajaran.
b.  Dimensi Sosial Peserta Didik
Peserta didik, seperti halnya manusia pada umumnya, dengan cirri dasar memiliki kemampuan untuk berkembang, menalar abstrak, berbahasa dan berkomunikasi, melakukan introspeksi, merefleksi, dan memecahkan masalah. Mereka umumnya memiliki kemapuan mental tingkat tinggi dikombinasikan struktur tubuh yang membebaskan gerakan kaki dan tangan.Kombinasi keduanya membuat mereka dapat memanipulasi obyek jauh lebih besar daripada kemampuan spesies lainnya. Pada kalangan peserta didik terdapat keragaman kemampuan atau potensi dasar pengembangan, mulai dari yang lamban, moderat, hingga luar biasa.
            Pada sisi lain, peserta didik merupakan makhluk sosial yang unik dibandingkan dengan primata lainnya, seperti kemampuan memanfaatkan system komunikasi untuk mengekspresikan diri, mengadopsi budaya. Beretika, bertukar ide, dan mengorganisasikan diri. Di sekolah dan di masyarakat, mereka merupakan bagian dari struktur sosial yang kompleks, yang memungkinkannya terlibat dalam kerjasama dan persaingan, sekaligus mengembangkan norma-norma sosial, spiritual, serta bersama-sama membentuk dasar-dasar kehidupan masyarakat pada umumnya.
            Peserta didik memiliki keinginan untuk memahami dan menerima pengaruh lingkungan mereka, berusaha menjelaskan dan memanipulasi fenomena alam melalui ilmu pengetahuan, penalaran, percobaan, bahkan juga dengan filsafat, serta mitologi dan agama. Rasa ingin tau, baik alami maupun direncanakan, akan mendorong peserta didik menjadi manusia masa depan yang mampu menciptakan dan mengembangkan ilmu pengetahuan tekonologi, alat-alat canggih, serta keterampilan lain yang bermaslahat bagi diri sendiri dan kehidupan.
c.   Dimensi Spritual dan Intelektual Peserta Didik
Sebagai makhluk spiritual, peserta didik memiliki jiwa dan sangat pribadi. Di dalamnya terkandung sikap yang suci untuk saling mengasihi, membangun aspirasi dan harapan, serta visi. Dimensi spiritual ini merupakan nilai kemanusian sejati.Kemanusiaaan merupakan salah satu “tuan rumah” dari entitas spiritual. Ia menyediakan “kekuataan bawaan” dalam diri manusia dan alam semesta, sekaligus merupakan pusat proses pemahaman dan pertumbuhan. Dengan nilai-nilai spiritual itu pun peserta didik akan dapat mengenal dirinya sendiri. Kita memang belum banyak memahami dan mengeksplorasi tentang cara kerja pikiran manusia sebagai bagian dari kecerdasan reflektif diri sendiri.
Peserta didik adalah insan yang kesadran dan memiliki pusat kesadaran, berupa “diri sejati” atau “jati diri”, yang di dalamnya terkandung rasa cinta, inspirasi, kasih saying, hati nurani, bahkan iluminasi. Dimensi spiritual dan intelektual pun sesuai dengan kepentingannya menjadi alat bagi peserta didik untuk belajar, mengingat fakta, menghitung persamaan, merencanakan kegiatan, dan sebagainya. Dimensi-dimensi ini harus diaktivasi melalui layanan pendidikan. Satu hal yang tidak kalah penting dalam dimensi spiritual adalah kesadaran, sesuatu yang diidentifikasi sebagai dapat menembus semua lini kehidupan. Kesadaran peserta didik adalah hubungan mereka dengan dunianya, sementara kemampuan berpikir merupakan alat membuat keputusan.
Memang, hingga kini masih bnayak orang mencoba mendefinisikan peserta didik dan hubungan interpersonal mereka dalam tafsir yang matrealistik. Hal ini dapat dipahami, karena dengan evolusi kesadaran diri, mayoritas orang tertarik pada hal-hal material, bukan menjelajahi misteri interaksi antara semangat universal dan dunia fisik. Idealnya, apa yang peserta didik inginkan dalam pembelajaran adalah pengetahuan dan kepastian baginya bahwa hal itu bermaslahat bagi kehidupan kelak.
Keinginan peserta didik mengakuisisi pengetahuan memberi preferensi bagi mereka untuk mencari bukti ilmiah, memecahkan masalah, dan berdiskusi menurut fokus substansi yang dipelajari. Peserta didik pun memiliki daya kreatif yang perkembangannya tidak selalu tunduk dengan “hukum” di luar dirinya dan tidak akan menjadi terhenti, melainkan akan terus memasuki arena yang tidak terbatas, berkembang terus dengan tingkat validitas tertentu.
Ketika peserta didik telah mencapai tingkat kesadaran ini, perkembangan bahasa mereka pun berlanjut. Perkembangan inilah yang kemudian akan mencapai hasil yang luar biasa dalam bidang pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi ke depan. Dimensi spiritual dan penalaran ini pun akan mendorong peserta didik menjadi  reseptor sekaligus mengembangkan komunikasi sebagai akibat dari emosi dan sensasi mereka.
d. Asumsi-asumsi Perkembangan Peserta Didik
            Pemahaman mengenai “Perkembangan Peserta Didik” dan “Tugas-tugas Perkembangannya” merupakan instrumen untuk memberikan layanan kependidikan yang prima sesuai dengan tahap-tahap perkembangan mereka menurut usia atau jenjang persekolahan yang dijalaninya.
            Teoritikus kependidikan biasanya berpijak pada tiga aliran berfikir yang menjadi asumsi dasar layanan kependidikan, aspek tersebut yaitu :
1.      ketika dilahirkan anak manusia yang kemudian menjadi peserta didik di bangku sekolah diasumsikan sudah memiliki bawaan tersendiri yang berbeda dengan yang lainnya. Pemikiran ini dianut oleh aliran Nativisme atau aliran Naturalisme. Nativisme berasal dari kata nativesyang berarti kelahiran, sedangkan Naturalisme berasal dari kata Natur yang berarti alam. Asumsi dasar aliran ini adalah perkembangan anak atau peserta didik ditentukan oleh bawaannya sejak lahir. Menurut pandangan ini, lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakat tidak  banyak mempengaruhi perkembangan peserta didik lebih lanjut.
2.      perkembangan anak atau peserta didik  merupakan fenomena buatan dan karenanya proses pengembangan mereka harus dioptimasi. Pemikiran ini dianut oleh aliran empirisme. Empirisme  berasal dari kata empire yang bermakna pengalaman artinya perkembangan anak atau peserta didik lebih dipengaruhi lingkungan atau pengalamannya sendiri.
3.      perkembangan anak merupakan fungsi dari interaksi faktor bawaan dan lingkungan. Perkembangan anak ibaratkan bibit yang baik ditanam pada tempat yg cocok. Dengan pemeliharaan yang prima, pemikiran ini dianut oleh aliran konvergensi yang berpendapat bahwa kombinasi yang kongruen antara pembawaan dan lingkungan menetukan perkembangan anak.
Dalam kerangka layanan pendidikan, ini bermakna bahwa perkembangan peserta didik akan teroptimasi, jika guru dan tenaga kependidikannya mampu memerankan fungsi pada tempat dan ruang yang sesuai. Namun demikian, kapasitas guru dan tenaga kependidikan tetap ada batas-batasnya.




















BAB III
Penutup

A.    Kesimmpulan
Asumsi dan Perkembangan Peserta Didik meliputi :
a.       Tridimensi peserta didik.
Dengan mengikuti pemikiran filsuf kuno, Ban Van Rijken (2009) berpendapat bahwa manusia, termasuk peserta didik, terdiri dari 3 unsur atau dimensi, yaitu fisik, nurani, dan pikiran.
b.      Dimensi sosial peserta didik.
Peserta didik, seperti halnya manusia pada umumnya, dengan cirri dasar memiliki kemampuan untuk berkembang, menalar abstrak, berbahasa dan berkomunikasi, melakukan introspeksi, merefleksi, dan memecahkan masalah. Mereka umumnya memiliki kemapuan mental tingkat tinggi dikombinasikan struktur tubuh yang membebaskan gerakan kaki dan tangan. Kombinasi keduanya membuat mereka dapat memanipulasi obyek jauh lebih besar daripada kemampuan spesies lainnya.

Pada sisi lain, peserta didik merupakan makhluk sosial yang unik dibandingkan dengan primata lainnya, seperti kemampuan memanfaatkan system komunikasi untuk mengekspresikan diri, mengadopsi budaya. Beretika, bertukar ide, dan mengorganisasikan diri. Di sekolah dan di masyarakat, mereka merupakan bagian dari struktur sosial yang kompleks, yang memungkinkannya terlibat dalam kerjasama dan persaingan, sekaligus mengembangkan norma-norma sosial, spiritual, serta bersama-sama membentuk dasar-dasar kehidupan masyarakat pada umumnya.

c.       Dimensi spiritual dan intelektual peserta didik
Dimensi spiritual dan intelektual pun sesuai dengan kepentingannya menjadi alat bagi peserta didik untuk belajar, mengingat fakta, menghitung persamaan, merencanakan kegiatan, dan sebagainya. Dimensi-dimensi ini harus diaktivasi melalui layanan pendidikan. Satu hal yang tidak kalah penting dalam dimensi spiritual adalah kesadaran, sesuatu yang diidentifikasi sebagai dapat menembus semua lini kehidupan. Kesadaran peserta didik adalah hubungan mereka dengan dunianya, sementara kemampuan berpikir merupakan alat membuat keputusan.



d.      Asumsi-asumsi perkembangan peserta didik
1.    ketika dilahirkan anak manusia yang kemudian menjadi peserta didik di bangku            sekolah diasumsikan sudah memiliki bawaan tersendiri yang berbeda dengan yang lainnya.
2.   perkembangan anak atau peserta didik  merupakan fenomena buatan dan karenanya proses pengembangan mereka harus dioptimasi.
3.      perkembangan anak merupakan fungsi dari interaksi faktor bawaan dan lingkungan.


























DAFTAR PUSTAKA

Danim, Sudarman. 2010. Perkembangan Peserta Didik. Bandung : ALFABETA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar